Sunday, 5 May 2013

kebijakan VOC dan pengaruhnya


KEBIJAKAN VOC DAN PENGARUHNYA


VOC adalah badan / kongsi perdagangan Belanda yang berdiri sejak tahun 1602. Sebutan kompeni Belanda yang dialamatkan pada  orang-orang VOC  merupakan istilah dari  kata Compagnie. Lidah orang-orang Indonesia menyebut nama compagnie menjadi kompeni.  Ingat, VOC kepanjangan dari Oost Vereenigde Indische Compagnie.


Salah satu kunci keberhasilan VOC adalah sifatnya yang mudah beradaptasi dengan kondisi yang telah ada disekitarnya. Kebijakannya dapat dikatakan kelanjutan atau tiruan dari sistem yang telah dilakukan oleh para penguasa local. VOC secara cerdik menggunakan lembaga dan aturan-aturan yang telah ada di dalam masyarakat lokal untuk menjalankan roda compagnienya. Hak monopoli, penyerahan wajib, penanaman wajib, tenaga kerja wajib dan pajak sebenarnya telah menjadi bagian dari struktur dan kultur  yang telah ada sebelumnya.

            Hampir keseluruhan pendapatan VOC diperoleh dari sumber ekonomi yang juga menjadi andalan para penguasa local sebelumnya. VOC hanya membungkusnya secara resmi/ legal dan teratur. Staf administrasi dan prajurit  yang berjumlah tidak lebih dari 17.000 orang pada tahun 1700, telah merajalela di sebagian besar pusat-pusat penghasil dan perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, cukup efektif pihak VOC untuk menerapkan kebijakan-kebijakan di daerah koloni. 

Dalam upaya memperlancar aktivitas organisasi, VOC pada tahun 1610 memutuskan untuk membentuk jabatan Gubernur Jendral yang pada waktu itu berkedudukan di Maluku. Pieter Both sebagai orang pertama yang menduduki posisi itu.

Tindakan VOC dengan adanya hak octroi sangat merugikan bangsa Indonesia.  Hak octroi seolah ijin usaha kepanjangan tangan pemerintah Belanda, bahkan bisa dikatakan VOC sebagai sebuah ‘negara dalam negara’.

Pada Perserikatan Maskapai Hindia Timur , VOC , kepentingan-kepentingan /para pedagang yang bersaing itu diwakili oleh system majelis (kamer ) untuk masing-masing dari 6 wilayah di negeri Belanda. Setiap majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui, yang seluruhnya berjumlah 17 orang dan disebut sebagai Heeren XVII ( Tuan-tuan Tujuh Belas ).

Untuk  menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC menerapkan hak monopoli, menguasai pelabuhan-pelabuhan penting dan membangun benteng-benteng. Benteng-benteng yang dibangun VOC adalah   :

1.      Di Banten disebut benteng Kota Intan ( Fort Pellwijk ).

2.      Di Ambon disebut benteng Victoria.

3.      Di Makasar disebut benteng Retterdam.

4.      Di Ternate di sebut benteng Orange.

5.      Di Banda disebut benteng Nasao.

 
Dengan keunggulan senjata, juga memanfaatkan kompetisi dan  konflik di antara penguasa lokal (kerajaan ), VOC berhasil memonopoli perdagangan pala dan cengkeh di Maluku. Satu persatu kerajaan-kerajaan di Indonesia dikuasai  VOC. Kebijakan ekspansif (menguasai) semakin gencar diwujudkan ketika Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jendral menggantikan Pieter Both pada tahun 1817.

Jan Pieterszoon Coen memiliki semboyan “ tidak ada perdagangan tanpa perang, dan juga tidak ada perang tanpa perdagangan”. Ialah yang  memindahkan pos dagang VOC di Banten dan kantor pusat VOC dari Maluku ke Jayakarta. Mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. 

 

Daerah-daerah strategis bagi pelayaran dan perdagangan di sepanjang pantai nusantara di kuasai VOC. Hal ini bisa dikatakan sebagai tindakan imperialisme pantai, yaitu   :



1.      Pada tahun 1919/1921 merebut pelabuhan Jayakarta.

2.      Pada tahun 1625, menduduki daerah pusat rempah-rempah di pulau banda.

3.      Pada tahun 1641, merebut benteng Portugis di Malaka.

4.      Pada tahun 1662, menduduki pusat perdagangan Pariaman di pantai Barat Sumatra.

5.      Pada tahun 1667, menduduki Bandar Makasar .


Dalam upaya mempertahankan monopoli dan melarang keterlibatan bangsa Barat lainnya maupun para pedagang Asia dalam perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku, VOC melakukan intervensi militer ke berbagai daerah dan pelayaran Hongi ( Hongi Tochten). Pelayaran Hongi yaitu pelayaran keliling menggunakan perahu jenis kora-kora yang dipersenjatai untuk mengatasi perdagangan gelap atau penyelundupan rempah-rempah di Maluku. Pelayaran ini juga disertai Hak Ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.



Pada tahun 1700 –an, VOC berusaha menguasai daerah-daerah pedalaman yang banyak menghasilkan barang dagangan. Imperialisme pedalaman ini sasarannya kerajaan Banten dan Mataram, karena daerah ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas seperti beras, gula merah, jenis-jenis kacang dan lada.
Tindakan VOC yang sewenang-wenang, sangat keras, dan kejam menimbulkan perlawanan rakyat Indonesia. Perlawanan terhadap monopoli VOC terjadi dimana-mana seperti di Mataram, Banten, Makasar dan Maluku.

            Kebijakan-kebijakan VOC selama berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 – 1799 antara lain dapat dirangkum sebagai berikut   :

1.           Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdagangan.

2.           Melaksanakan politik devide et impera ( memecah dan menguasai )  dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.

3.           Untuk memperkuat kedudukannya dirasa perlu mengangkat seorang pegawai yang disebut Gubernur Jendral.

4.           Melaksnakan sepenuhnya Hak Octroi yang ditawarkan pemerintah Belanda.

5.           Membangun pangkalan / markas VOC yang semula di Banten dan Ambon, dipindah dipusatkan di Jayakarta ( Batavia).

6.           Melaksanakan pelayaran Hongi  ( Hongi tochten ).

7.           Adanya Hak Ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.

8.           Adanya verplichte leverantien ( penyerahan wajib ) dan  Prianger Stelsel ( system Priangan )

Prianger Stelsel ( system Priangan , penyerahan wajib) dimulai tahun 1723

Masyarakat di Priangan dikenai aturan wajib kerja menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada kompeni. Wajib kerja ini sama dengan kerja paksa / rodi, rakyat tanpa diberi upah, menderita dan miskin.

Pengaruh dari kebijakan VOC bagi rakyat Indonesia antara lain   :

1.    Kekuasaan raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh VOC.
2.    Wilayah kerajaan terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru dibawah kendali VOC.

3.    Hak octroi ( istimewa ) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin, menderita,mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan  benteng, etika perjanjian dan prajurit bersenjata modern (senjata api, meriam ).

Hak octroi adalah hak istimewa dari pemerintah Belanda, yang meliputi   :

1.  Hak monopoli

2.  Hak untuk membuat uang

3.  Hak untuk mendirikan benteng

4.  Hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan

     di Indonesia

5.  Hak untuk membentuk tentara

  4.   Pelayaran Hongi,  bagi penduduk Maluku khususnya, dapat dikatakan sebagai suatu perampasan, perampokan, pemerkosaan, perbudakan dan pembunuhan.

5.    Hak Ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber penghasilan yang bisa berlebih.


            Dua abad sejarah VOC bercokol di kepulauan Indonesia, sama sekali tidak mengisaratkan sebagai kesetaraan suatu mitra baik dalam arti politik maupun ekonomi, melainkan berisi berbagai peristiwa berdarah dari sebuah upaya menegakkan kekuasaan. VOC menjadi sebuah kompeni yang bengis, yang mampu membangun sebuah tradisi sebagai symbol kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Barat.

 

 

 

pemerintahan kolonial inggris



Pemerintahan Kolonial Inggris di Indonesia

Sementara pasukan Inggris di India tengah mengadakan persiapan untuk menyerang pulau jawa, Pada tanggal 11 Agustus 1811, pasukan Inggris di bawah pimpinan Gubernur Jendral EIC Lord Minto telah mendarat di Batavia. Dalam waktu singkat, tentara Inggris dapat mendesak tentara Belanda, sehingga Belanda menyerah kepada Inggris melalui Perjanjian Tungtang pada tahun 1811.
Isi perjanjian Tungtang
1. Seluruh kekuatan militer Belanda yang ada di wilayah Asia Tenggara harus diserahkan kepada Inggris.
2. Hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris.
3. Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan Belanda di luar Pulau Jawa menjadi wilayah kekuasaan Inggris.

Peristiwa penyerahan Belanda kepada Inggris menandai transisi pemerintahan dari Belanda kepada Inggris. Sebagai lagkah awal, Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di indonesia, mewakili raja muda Lord Minto.
Pemerintahan Raffles di Indonesia hanya berlangsung selama lima tahun. Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahannya di Indonesia. Pada tahun 1816, Napoleon Bonaparte menyerah kepada Inggris dan sekutunya. Kemudian diadakanlah perjanjian London yang isinya status Indonesia kembali pada masa sebelum perang, yankni berada di bawah pemerintah kolonial Belanda.
 
Kebijakan Pemerintahan Raffles
Kebijakan politik Raffles di Indonesia dijalankan berdasarkan asas-asas liberal yang menjunjung tinggi persamaan derajat dan kebebasan manusia. Dijiwai oleh nilai-nilai liberal, Raffles bermaksut mewujudkan kebebasan dan menegakkan hukum dalam pemerintahannya, yaitu berupa:

a. Perwujudan kebebasan dilaksanakan berupa kebebasan menanam, kebebasan berdagang, dan produksi untuk ekspor.
b. Penegakkan hukum diwujudkan berupa perlindungan hukum kepada rakyat agar bebas dari kesewenang-wenangan.

Sesuai dengan kebijakan politiknya tersebut, Raffles menerapkan kebijakan ekonomi seperti yang dijalankan Inggris di India. Hal tersebut karena Indonesia memiliki banyak persamaan, yaitu sama-sama negara agraris. Kebijakan ekonomi yang diterapkan Inggris tersebut disebut dengan Landrent-system, atau sistem pajak tanah.

Pokok-pokok Landrent System:

a. Segala bentuk penyerahan dan kerja paksa dihapuskan. Rakyat diberikan kebebasan untuk menanam segala jenis tanaman yang dianggap menguntungkan.
b. Semua tanah manjadi milik pemerintah kolonial Inggris. Pemungutan sewa tanah dilakukan secara langsung, tidak lagi dengan perantara bupati. Sementara itu, tugas bupati terbatas hanya pada dinas-dinas umum.
c. Penyewaan tanah dibeberapa daerah dilakukan berdasarkan kontrak dan batas waktu.

Landrent System berlawanan dengan sistem feodal yang selamai ini berlaku di Indonesia. Selama ini, tanah dimiliki oleh para bangsawan . Para petani penggarap tanah diwajibkan menyerahkan sebagian hasil panen menurut takaran yang sudah ditentukan oleh pemilik tanah. Semakin meningkatnya hasil panen para petani, tidak akan berpengaru pada kesejahteraan petani karena takaran yang telah ditentukan hanya akan menguntungkan pemilik tanah. Alasannya, penyerahan hasil panen dilakukan lewat perantara para bupati. Mereka ini cenderung menarik penyerahan yang telah ditentukan. Hal ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun untuk menyenagkan para bangsawan pemilik tanah.

Ternyata Landrent System sangat sulit dilaksanakan di Indonesia. Raffles menghadapi banyak sekali tantangan dan hambatan dalam menerapkan kebijakan barunya tersebut. Tantangan terbesar berasal dari kaum bangsawan, karena pemberlakuan Landrent Sistem ini akan sangat merugikan mereka.

Berbagai kendala yang dihadapi, membuat Landrent System gagal diterapkan di Indonesia. Karena kas pemerintah kolonial Inggris di Indonesia harus tetap sehat, maka Raffles terpaksa menerapkan kebijakan seperti pemerintah Kolonial Belanda dahulu. Ia memberlakukan wajib kerja untuk menanam tanaman yang bisa memberikan keuntungan besar seperti kopi dan pohon jati. Ia juga terpaksa menerapkan berbagai macam pungutan yang yang pernah ia hapus. Akhirnya penderitaan rakyat Indonesia dibawah pemerintahan Raffles tak jauh beda dengan pemerintahan VOC dan Daendels dahulu.

 

 

Monday, 29 April 2013

Sistem Tanam Paksa


Sistem Tanam Paksa                          

Masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa dimulai pada tahun 1830. Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Tidak ada tantangan serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad 20. Pihak Belanda juga telah mampu terlibat langsung di Jawa sampai daerah pedalaman. Dominasi politik akhirnya tercapai di seluruh Jawa pada tahun 1830.

Kondisi finansial Belanda pada tahun 1830 ternyata tidak semulus dengan keberhasilannya menguasai Jawa. Keuntungan yang diperoleh dari penguasaannya di Jawa habis digunakan untuk biaya militer dan administrasi. Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Graaf Johanes van den Bosch,pelopor culturstelsel

 
Latar Belakang Tanam Paksa         

Faktor utama diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Belgia berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden.

Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der Capellen menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan yang ditempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan produk yang dapat dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini menemui kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya harga komoditi pertanian tropis di dunia.

Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan-persaingan dagang internasional. Persaingan dagang tersebut diantaranya dengan pihak Inggris, dan setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819 menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Permasalahan di kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa, dimana kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.

Selama Perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai rencana untuk memperoleh keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829 Johannes Van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut culturstelsel. Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis, terutama kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain. Van den Bosch menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil bumi (forced cultivation) kepada pemerintah. Raja menyetuji usulan-usulan tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur Jenderal yang baru.

Ketentuan Tanam Paksa

Johannes Van den Bosch adalah pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat menjadi Gubernur Jendral pada 19 Januari 1830 dan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 dan menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan di Jawa.

Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:

1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.

2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.

3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.

4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari pembayaran pajak tanah.

5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.

6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah.

7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.

Ketentuan-ketentuan tersebut jika dicermati lebih lanjut nampaknya tidak terlalu membebani rakyat. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sering menyimpang jauh dari ketentuan sehingga merugikan rakyat dan sangat memberatkan beban rakyat.

 

Pelaksanaan Tanam Paksa

Ketentuan-ketentuan tentang tanam paksa ternyata hanya tertulis di atas kertas. Terdapat perbedaan besar antara ketentuan yang sudah ditetapkan dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Penyimpangan-penyimpangan yang muncul antara lain:

1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.

2. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk culturstelsel adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.

3. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 66 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.

4. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.

5. Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak.

6. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.

7. Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.

Sistem tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam perbaikan keuangan, ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus meskipun dalam paksaan. Surplus ini hanya digunakan untuk menopang pemerintahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya di daerah luar Jawa, dan perekonomian dalam negara Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga kerja orang Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional. Pihak Belanda berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan keuntungan-keutungan yang berarti yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil masyarakat pribumi.

 

Dampak Tanam Paksa

Melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosch, maka pihak Belanda lah yang mendapatkan banyak keuntungan. Sejak tahun 1831 anggaran belanja kolonial Indonesia sudah seimbang, dan sesudah itu hutang-hutang lama VOC dilunaskan. Uang dalam jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri Belanda, dari tahun 1831-1877 perbendaharaan Kerajaan Belanda telah menerima 832 juta